PUSH RANK YUK !

                                                   Sumber : Pinterest.com

Era abad ke-21 menjadikan setiap manusia hampir tidak bisa terlepas dari teknologi digital (digitalisasi), baik itu dalam hal komunikasi antar individu, memenuhi kebutuhan hidup, ilmu pengetahuan, bahkan hiburan. Tren otomatisasi dan pertukaran data seperti Artificial Intellegence (AI), Internet of Things (IOT), Unmanned Vehicles (UAV), Mobile Technology (5G), Shared Platform, Block Chain, Robotic, dan Bio-Technology saling mempengaruhi kehidupan manusia, ini yang disebut dengan Era Revolusi Industri 4.0. Centrum of Gravita Test perekonomian dunia yang awalnya dikuasai industry General Electric (GE) telah bergeser dengan datangnya perusahaan berbasis teknologi digital seperti Amazon, Google, Facebook, Alibaba, Apple, dan Microsoft. Ini merupakan sebuah peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018 jumlah populasi Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Akan berpotensi meningkat hingga 282 juta jiwa pada tahun 2024 dan pada tahun 2045 diperkirakan akan mencapai 317 juta jiwa. Jumlah generasi milenial berusia 20-35 tahun mencapai 24 persen atau setara dengan 63,4 juta dari 179,1 juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun), inilah yang disebut bonus demografi.
Permasalahan Indonesia saat ini adalah tingginya tingkat pengangguran. Menurut BPS, jumlah pengangguran di Indonesia berjumlah 6,82 juta orang. Dimana tingkat pengangguran terdidik masing-masing menyumbang angka yang tidak bisa disebut kecil. Lulusan SMK menyumbang angka pengangguran tertinggi yakni sebesar 8,63 persen. Diikuti lulusan Diploma (I/II/II) dengan persentase sebesar 6,89 persen. Data ini secara tidak langsung mengatakan bahwa ada penawaran tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar terutama pada tingkat pendidikan SMK dan Diploma. Sementara jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang. Jumlah ini naik 2,4 juta orang dibanding Februari 2018. Penduduk yang bekerja berjumlah 129,36 juta orang atau bertambah 2,29 juta orang dari Februari 2018. Sebanyak 57,27 persen atau 74,08 juta orang bekerja pada sektor informal. Dengan melihat sajian data tersebut maka kompetisi di dunia kerja akan semakin tinggi, apalagi memasuki Era Revolusi Industri 4.0 dimana manusia akan berhadapan dengan mesin sebagai kompetitornya.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan sebagai tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak, artinya pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan adalah ujung tombak bangsa untuk mencapai tujuan kesejahteraan dan keadilan sosial. Problem pendidikan yang ada di Indonesia sangatlah kompleks, mulai dari infrastruktur pendidikan, kualitas pendidik (guru), kualitas siswa, dan sistem pendidikannya itu sendiri. Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai delapan tujuan yang diantara lain adalah pemerataan pendidikan, meningkatkan kemampuan akademik, pembaharuan kurikulum, pemberdayaan lembaga pendidikan, desentralisasi sistem pendidikan, meningkatkan kualitas lembaga pendidikan, mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan meningkatkan penguasaan, pengembangan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan-tujuan tersebut nyatanya masih belum terimplementasi dengan maksimal.
Hasil riset dari OECD PIAAC (Organisation for Economic Co-operation and Development Programme for International Assessment of Adult Competencies) menyebutkan bahwa system pendidikan di Indonesia tertinggal 128 tahun dari negara-negara maju seperti Finlandia, Jepang, Slovakia, dan Korea Selatan. Padahal jika melihat besaran anggaran pendidikan yang dikucurkan pemerintah jumlahnya cukup besar yaitu Rp 492,5 triliun pada tahun anggaran 2019 dan pada APBN 2020 sebesar Rp 505,8 triliun atau meningkat 2,7 persen dari tahun sebelumnya. Alokasi anggaran pendidikan dipertahankan 20 persen dari total anggaran belanja negara tiap tahunnya. Dari hasil pemeringkatan yang dilakukan oleh PISA (The Program for International Student Assessment) terhadap tiga aspek yaitu matematika, sains, dan membaca pada siswa berusia 15 tahun di 70 negara didapatkan hasil bahwa Indonesia menempati urutan ke-62 dengan skor 395,3. Artinya kualitas siswa Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan negara lain misalnya Vietnam dan Thailand yang masing-masing menempati urutan ke-22  dan 56. UNDP (United Nation Development Program) mengeluarkan data tentang Human Development Index (HDI) pada tahun 2017 dimana Indonesia menduduki peringkat 116 dari 151 negara dengan skor 0,694. Pada tahun 2018 menurut data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 71,39 atau meningkatn 0,58 poin dan tumbuh sekitar 0,82 persen dibanding tahun 2017. Penacapaian ini relatif tidak terlalu signifikan dibanding negara-negara lain seperti Filiphina, Malaysia, dan Singapura yang berbatasan langsung dengan Indonesia.
Dengan melihat beberapa data diatas mengindikasikan bahwa Indonesia masih terjebak dalam Middle Income Country atau negara berpenghasilan menengah yang dalam istilah lain disebut negara berkembang. Entah sampai kapan stigmanisasi itu akan terus melekat jika tidak ada perbaikan dalam beberapa sistem, terutama sistem pendidikan. Negara-negara maju seperti Finlandia, Singapura, dan Denmark misalnya, mempunyai sistem pendidikan yang berbasis pada passion (minat dan bakat) siswa. Artinya negara tidak memaksakan menginduksi semua mata pelajaran dimana itu akan membebani siswa akibat terlalu banyaknya beban studi. Selain itu, kualitas guru juga sangat diperhatikan dengan cara mengambil murid-murid terbaik dan diberikan gaji yang layak. 
Kembali ke topik awal, dimana digitalisasi melanda dunia maka dari itu perlu adanya sinkronisasi dengan sistem pendidikan. Semenjak pendidikan usia dini, perlu adanya pengembangan Konsep Computational  Thinking dan Critical Thinking. Computational  Thinking  dikembangkan dengan memperdalam STEM (Science Technology Engineering Math). Setidaknya ada empat unsur didalam pengembangan Computational Thinking yaitu Decomposition, Abstraction, Pattern Recognition, dan Algorithm. Ini merupakan sebuah langkah awal untuk mendalami programming system terutama dalam mewujudkan kemandirian bangsa ditengah digitalisasi dunia. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Negara China, dimana secara Digital Industry mereka sangat mandiri. China punya Baidu yaitu Googlenya China, Alibaba sebagai Amazonnya China, Didi Chuxing sebagai Ubernya China, Weibo sebagai Twitternya China, Renren sebagai Fbnya China, WeChat sebagai WhatsAppnya China, Youku sebagai YouTubenya China, QQ sebagai Gmailnya China. Indonesia sekarang ini secara teknologi masih menginduk pada Amerika dan kedepannya harus menciptakan kemandirian teknologi. Kedua, mengenai Critical Thingking dimana selama ini dalam system pendidikan Indonesia menggunakan system hafalan. Critical Thinking adalah pembelajaran dengan menstimulus berfikir kritis pada setiap aspek yang akan dipelajari. Misalnya, kenapa Perang Diponegoro itu terjadi, apa alasan dibaliknya, bukan pada hafalan mati tahunnya saja. Saya rasa itu yang harus dimasukkan dalam sistem pendidikan Indonesia. Mencetak karya yang sesuai dengan perkembangan jaman dengan dimulai dari system pendidikan. Dengan itu maka akan menciptakan generasi unggul dan kemandirian bangsa akan terwujud sehingga kemakmuran dan kesejahteraan bangsa akan turut tercapai. 

Referensi :
https://npd.kemdikbud.go.id/

Comments

Popular Posts