Mesianisme Viralistik [Analisa Historis dan Kajian Kontemporer]


   Source : OxfordUniversityPress/TheGrammarofMessianism 




Beranda sosmed dan headline berbagai media mainstream baik daring maupun cetak kembali heboh terkait pemberitaan Keraton Agung Sejagat yang berlokasi di Desa Pogung Jurutengah, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sinuwun (panggilan pengikut terhadap pemimpin) Totok Santoso Hadiningrat dan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja mengklaim sebagai Rangkai Mataram Agung yang menjadi juru damai dunia. Kepada khalayak ramai, Totok mengumumkan bahwasanya Keraton Agung Sejagat sebagai induk dari Kingdom State Tribune Koloni yang ada di seluruh dunia. Tidak tanggung-tanggung, diperkirakan pengikut KAS ini sebanyak 450 orang yang berasal dari berbagai daerah pelosok tanah air. Para pengikut tersebut rela membayarkan sejumlah uang demi bergabung dengan KAS pimpinan Totok. Beberapa kurun waktu sebelumnya tentu kita masing ingat dengan Kerajaan Tuhan yang dipimpin oleh Lia Eden, Satria Piningit Weteng Buwono pimpinan Agus Imam Sholichin, Kerajaan Ubur-Ubur di Banten, dan Gafatar besutan Ahmad Moshaddeq. Lantas apa gerangan yang menstimulus orang-orang untuk mau bergabung dengan kelompok semacam itu diera modern seperti sekarang ini ? Sebelum mengulas hal tersebut secara lebih mendalam ada baiknya kita terlebih dahulu mengenali apa yang disebut dengan Mesianisme.  
Secara ijmal, mesianisme merupakan suatu paham menantikan datangnya sosok juru selamat “messiah” yang akan membebaskan manusia dari segala penderitaan, menyelamatkan manusia dari kekacauan dunia, serta mewujudkan keadilan bagi penduduk bumi. Di dalam kalangan masyarakat jawa dikenal dengan sebutan “Ratu Adil” yang diambil dari serat ramalan masyhur yaitu Jangka Jayabaya. Jika ditilik dari segi historis, mesianisme sebagai unsur paham keagamaan muncul pertama kali di kalangan bangsa Yahudi ketika berada pada era of captivity (perbudakan). Dalam keadaan hopeless itu mereka menengadah ke langit untuk memohon pembebasan oleh Tuhan. Karena  merasa sebagai the chosen people, mereka yakin bahwa Tuhan akan mengabulkan doa mereka dan dari langit akan diturunkan seseorang yang diutus sebagai juru selamat. Sehingga lama kelamaan sikap jiwa menantikan juru selamat itu tumbuh permanen dalam bentuk kepercayaan keagamaan. Di dalam Islam sendiri, paham mesianistik juga ada meskipun tidak terlalu merata. Mesianisme dalam Islam berkenaan dengan bakal turunnya Nabi Isa al-Masih dan Imam Mahdi (pemimpin yang medapat hidayah) atau dikenal lebih lanjut dengan “Mahdisme”. Meskipun begitu, sampai saat ini mahdisme masih menjadi sesuatu yang diperselisihkan (Khilafiyah) dalam internal umat Islam sendiri. Pada masyarakat Nasrani, pemikiran juru selamat dipersonifikasi dengan kehadiran Isa Almasih (Yesus Kristus) yang tersirat didalam teks Injil Yahya dengan sebutan Parakletos (Paraclet) atau pemimpin masa depan.
Konsep mesianisme yang berasal dari agama itu kemudian berkembang juga dalam pemikiran para filosof ,terutama filosof yang membicarakan tentang masa depan. Sebab, masa depan bukan lagi berupa ramalan yang sifatnya spekulatif, tetapi lebih dari itu masa depan berusaha direalisasikan sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Pemikiran messianik banyak dicetuskan pada era renaissans dimana yang disebut dengan ‘new world’ tidak lagi berada dalam jarak waktu, akan tetapi dalam jarak ruang (space). Sehingga kita mengenal utopia-utopia besar yang tertuang dalam karya pemikiran para filosof seperti Hegel, Marx, Comte, Berdyaev, dan Toffler. Pemikiran para filosof pencerahan tersebut mewarnai Revolusi Prancis dan Inggris terutama gagasan Sosialisme Marx. Hegel dalam buku Philosophy of History mengembangkan sebuah teori yang didasarkan pada pandangan bahwa negara merupakan realitas kemajuan pikiran kearah kesatuan dengan nalar. Dalam tesis filsafat sejarahnya, hegel mengatakan bahwa dengan berdirinya negara Prusia merupakan puncak dari perkembangan sejarah umat manusia yang ditandai dengan terwujudnya kebebasan sebagai makna dan tujuan sejarah dunia. Sementara Marx dengan konsep materialism historinya mengangankan kemenangan kaum proletar atas kaum kapitalis sebagai puncak sejarah. Dengan terwujudnya masyarakat Komunis, maka segala penderitaan menjadi lenyap dan berganti dengan kebahagiaan dalam prinsip ‘sama rata sama rasa’. Disisi lain, Comte merindukan datangnya ‘tahap positif’ sebagai wujud kemenangan manusia mengatasi tahap metafisik. Bagi Berdyaev, jaman messianistik akan membentuk tatanan masyarakat yang religious. Toffler sendiri menjabarkan bahwa mesianisme muncul dari keinginan manusia untuk menyelesaikan segala persoalan secara tuntas dalam tempo yang singkat serta holistic.
Mesianisme dalam konteks sejarah nusantara banyak tercermin dari berbagai protes sosial yang khususnya dilakukan oleh kalangan petani pada abad ke-18 sampai awal abad ke-20. Gerakan protes itu dipicu oleh kondisi-kondisi lokal yang tidak stabil dan cenderung memelaratkan mereka. Tentunya, kondisi-kondisi fisik saja belum cukup untuk melahirkan suatu ‘pemberontakan’, tanpa ditunjang oleh faktor lain, utamanya adalah factor keyakinan (ideologi). Dari sanalah muncul orang-orang yang mengaku atau ditokohkan sebagai Mahdi. Umumnya mereka adalah elit-elit keagamaan yang memiliki ikatan erat dengan petani dengan mengkalibrasi kesederhanaan diantara keduanya menjadikan ikatan mereka begitu kuat. Sehingga mereka memiliki kesamaan sikap dalam menghadapi realitas kehidupan dan memandang masa depan. Unsur Mahdisme dalam aksi-aksi sosial petani di Jawa tergambar pertama pada peristiwa pemberontakan Ciomas tahun 1886 terhadap pemerintah kolonial Belanda yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad Idris yang memakai gelar ‘panembahan’ serta salah satu petinggi lainnya bernama Arpan yang menerima peran sebagai Imam Mahdi dan menyerukan perang jihad. Beberapa tahun berselang, tepatnya pada tahun 1916 terjadi peritiwa pemberontakan Cililitan Besar dimotori oleh Entong Gendut yang menyebut dirinya sebagai raja dan Imam Mahdi pelindung tanah jawa. Gerakan Syarekat Islam sendiri juga tidak terlepas dari campuran antara unsur magis, mistisisme, dan nativisme. Para tokoh SI sering digambarkan sebagai ‘Ratu Adil’ atau ‘Raja Jawa’ oleh rakyat di daerah-daerah pedesaan karena melakukan perbaikan ekonomi bangsa pribumi.
Setelah mengulik sejarah, makna, dan perkembangan mesianisme dari berbagai era, saatnya kembali ke pertanyaan awal yaitu mengapa bisa muncul gerakan ‘mesianisme’ kontemporer yang viral di berbagai media dan hal apa yang mendorong sebagian masyarakat sehingga percaya dan menjadi pengikut kelompok tersebut. Pertama-tama yang harus kita pahami bahwasanya mesianisme merupakan suatu pemikiran tentang masa depan ideal yang diinginkan dan didambakan manusia. Maka dari itu pemikiran mesianistik berkembang tidak hanya dalam konteks keagamaan, tetapi juga filsafat, bahkan dalam kalangan masyarakat awam. Meskipun diawal perkembangannya dinegasikan dengan datangnya seorang juru selamat, akan tetapi dalam keberjalanannya dapat pula berbentuk suatu tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang dinilai lebih ideal. Keadaan yang tidak menyenangkan yang dialami manusia seperti konflik, penindasan, kesewenangan, diskriminasi, ekslusifitas, monopoli, bahkan korupsi yang merajalela sering menjadi trigger pembentukan gerakan komunal dengan beragam manifestasi. Sedikit kembali ke masa lampau, teringat kisah Syekh Siti Jenar dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti. Jika menganut alur cerita mainstream tentu dengan lantang banyak yang menyebut Syekh Siti Jenar sebagai pembawa aliran sesat pada era Wali Songo karena dikatakan beliau menyebut dirinya sebagai Tuhan (Tuhan adalah Aku). Akan tetapi, dalam kalangan atau konteks makrifat ditafsirkan dengan makna kedekatan dengan Tuhan, bahwa Tuhan berada dalam dirinya dan menyatu dengannya. Kisah itu merupakan sebuah gambaran awal untuk meluaskan cara kita berfikir dengan keterbatasan mengakses berbagai manuskrip yang bisa menjadi bukti empiris dalam menentukan kesimpulan.
Sangat berbeda dengan peristiwa mesianisme keagamaan kontemporer seperti ajaran God’s Kingdom oleh Lia Eden (Kaum Eden), Satria Piningit Weteng Buwono, Kerajaan Ubur-Ubur dan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Kelompok-kelompok tersebut dilabeli ‘ajaran sesat’ karena adanya indikasi penyimpangan secara syariat. Dalam study psikologi, manusia mengalami quarter life crisis yang bisa menyentak batin secara mendalam yang bisa timbul karena adanya kekecewaan dan putus asa sehingga mengangankan sesuatu yang baru dan dipercayai menjadi cahaya terang yang akan menuntun masyarakat pada era baru, maka dimunculkanlah seorang juru selamat. Peristiwa dukun tiban atau dukun cilik Ponari di Jombang mencerminkan adanya untrust sebagian masyarakat dengan sistem pengobatan modern yang berbiaya mahal dan tidak dapat menjamin kesembuhan dengan cepat sehingga pada akhirnya menganggap Ponari sebagai ‘messiah’ yang akan memberikan kesembuhan secara instan melalui media batu ajaibnya. Di wilayah politik, fenomena Nurhadi Aldo (Dildo) calon presiden no.10 pada masa pilpres 2019 sangat menyita perhatian publik. Dengan berbagai humor yang dibuat dalam personalisasinya seakan mencairkan suhu politik yang memanas. Akan tetapi, jika ditelaah lebih mendalam, kenapa masyarakat sebegitu riuhnya menanggapi fenomena tersebut padahal it’s just a jokes. Banyak yang menyebutkan bahwa pilpres 2019 itu tidak ada bedanya dengan pilpres 2014. Artinya terjadi stagnansi dalam politik dan rolling elit Indonesia sehingga masyarakat mencari ‘the third ways’ dengan fake figure seperti Nurhadi Aldo yang diangankan membawa suasana politik Indonesia lebih adem dan damai. Lanjut memasuki sendi perekonomian yang tentunya tidak terlepas dari adanya mesianisme. Terbongkarnya bisnis money game Q-Net dan MeMiles yang berkedok bisnis Multi Level Marketing (MLM) juga ramai diperbincangkan publik baru-baru ini. Dalam kesempatan kali ini saya tidak akan mengulas kronologi penipuan yang dilakukan, akan tetapi pada polarisasi perekonomian yang terjadi di masyarakat kita. MLM sendiri merupakan salah satu konsep bisnis yang diciptakan untuk melawan kapitalisme dan monopoli pasar yang hanya dikuasai oleh beberapa orang atau kelompok dengan memangkas jalur distribusi barang atau dalam bahasa ekonomi disebut direct selling. Dengan sistem yang demikian maka akan tercipta keseimbangan perekonomian di dalam piramida distribusi dari produsen sampai konsumen. Pada awal abad 20 konsep MLM dianggap sebagai konsep bisnis yang paling ideal dan adil. Akan tetapi, banyak diselewengkan dalam bentuk money game yang menjanjikan pendapatan besar secara instan dengan menyetor sejumlah uang. Problemnya, masyarakat banyak yang tidak paham dengan konsep dan proses dalam sebuah bisnis, mereka hanya menginginkan result yang besar dan instan. Sehingga pada akhirnya mereka banyak yang tertipu oleh para pemain money game. Antusiasme yang begitu besar dari masyarakat terhadap sebuah materi (uang/barang) tidak lain karena sempitnya cara berfikir masyarakat sendiri dalam memaknai sebuah kesuksesan atau keberhasilan. Kebanyakan masyarakat hanya melihat sebuah kesuksesan dengan indikator materi, makanya banyak orang yang berlomba-lomba mencari materi dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan mencari jalan instan yaitu masuk ke money game. Kepunyaan akan materi selalu berhubungan dengan penghargaan diri yang akan diperoleh dari keluarga, lingkungan, dan dalam konteks digital yaitu personalisasi di media sosial. Related dengan penghargaan diri oleh orang lain, fenomena Keraton Agung Sejagat bisa pula dilihat sebagai sebuah usaha untuk menciptakan identitas sosial baru di masyarakat sehingga dalam impactnya akan tercipta sebuah apresiasi atau penghargaan oleh masyarakat umum atau minimal di dalam internal kelompok tersebut terhadap siapa saja yang tergabung atau menjadi pengikut. Sebagian masyarakat yang sebelumnya tidak mendapat penghargaan atau pengakuan dari lingkungan riil maupun digital akan sangat tertarik dan menganggap Keraton Agung Sejagat sebagai rumah yang bisa mengangkat derajat sosialnya. Karena kebutuhan akan penghargaan (Esteem Needs) sangat penting didalam masyrarakat komunal seperti yang digambarkan pada hieraki kebutuhan Maslow. Fenomena tersebut juga bisa dilihat sebagai kerinduan ada kejayaan masa lampau yang dalam hal ini era kerajaan Majapahit yang diikuti oleh pesan-pesan mesianistis sehingga cukup untuk memercikkan api pembakar semangat dalam mewujudkan cita-cita yang berkenaan dengan kesejahteraan, kejayaan, dan kekuasaan.
Mesianisme menjadi last destinaton dalam berbagai perkembangan sejarah dunia untuk mencapai masa depan yang ideal. Banyak sekali perspektif yang bisa kita gunakan sebagai pisau analisis untuk mengupas segala fenomena yang terjadi. Rentetan peristiwa yang mewarnai sejarah dunia baiknya kita gunakan sebagai pembelajaran untuk perbaikan quality of life individu maupun masyarakat secara luas.   

Comments

Popular Posts