Relevansi dan Efektifitas Debat Capres dalam Era Post Truth



source : conatusnews.com

Pada tanggal 17 April 2019 yang akan datang, bangsa ini akan menentukan pilihannya untuk memilih pemimpin dalam lingkup eksekutif dan legislatif yaitu Pilpres dan Pileg. Namun, dalam tulisan ini akan lebih berfokus pada Pilpres karena sangat ramai diperbincangkan publik bahkan jauh sebelum masa kampanye dimulai. Dalam Pilpres nanti kita sebagai warga negara Indonesia diberikan dua pilihan paslon capres cawapres yaitu Joko Widodo dan KH. Ma’aruf Amin sebagai paslon nomor urut 1 dan paslon Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno nomor urut 2. Proses pencalonan mereka selalu meghiasi pemberitaan media arus utama ,seperti gagal dipinangnya Mahfud MD menjadi cawapres Jokowi didetik-detik terakhir dan di kubu sebelah sempat ramai masalah mahar politik Sandiaga Uno untuk menjadi cawapres Prabowo. Terlepas dari ingatan akan isu isu tersebut, proses elektoral mereka sudah sampai pada tahapan debat publik yang menjadi salah satu bagian dari proses pencalonan.
Semalam atau pada tepatnya tanggal 17 Januari 2019 acara debat volume pertama digelar oleh KPU dengan tema Hukum, HAM, Korupsi ,dan Terorisme. Acara debat ini sebelum digelar juga sempat ramai diperbincangakan oleh karena KPU dinilai tidak bisa menjaga netralitasnya dan cenderung diintervensi karena sempat mengadakan konsultasi dengan tim pemenangan masing-masing paslon mengenai acara debat nanti. Selain itu, juga sempat menjadi perdebatan di ranah publik mengenai inisiatif KPU yang memberikan kisi-kisi materi debat untuk paslon yang salah satunya untuk menjaga wibawa capres cawapres di depan publik. Dari peristiwa-peristiwa tersebut metrigger saya untuk berfikir lebih jauh mengenai relevansi dan efektifitas debat tersebut. Saya menyebut debat semalam itu sebagai debat tekstual oleh karena adanya bocoran materi tersebut, sehingga yang tersaji hanya perdebatan kata-kata yang telah dirumuskan oleh konsultan politik masing masing. Mengenai ulasan hasil debat tadi malam saya tidak akan membahas terlalu jauh karena sudah banyak yang memberikan analisa dan tafsir yang beragam dan bisa dikses via online. Saya akan membahas konteks debat semalam dengan relevansi dan efektifitasnya  dalam Era Post Truth.
Mungkin kata Post Truth sudah tidak asing lagi di telinga kita terutama mahasiswa ilmu sosial dan ilmu politik. Menurut kamus Oxford, istilah Post Truth didefinisikan sebagai sebuah kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dalam konstelasi politik global kondisi Post Truth memuncak dalam mometum politik yang digerakkan oleh sentimen emosi seperti Britain Exit (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Dalam situasi ini, informasi informasi yang bersifat hoax memiliki pengaruh yang lebih besar daripada fakta yang sebenarnya. Selain itu, era Post Truth juga ditandai dengan media dan jurnalisme dalam menghadapi peryataan-pernyataan bohong dari para politisi. Dalam konteks di Indonesia, masyarakat cenderung percaya dengan pemberitaan diluar media mainstream karena sebagian besar media Indonesia kepemilikannya didominasi oleh elit-elit politik sehingga masyarakat cenderung mencari pemberitaan yang menurut mereka lebih netral tanpa filtrasi hasil reduksi afiliasi politik. Fenomena hoax dan fake news semakin marak seiring dengan konstelasi politik yang semakin memanas. Hal ini tentunya sangat mengkhawtirkan karena presentase kemungkinan hoax dan fake news lebih mendominasi daripada pemberitaan media arus utama yang kredibilitasnya semakin dipertanyakan. Isu-isu seperti primordialitas dan bangkitnya PKI mengiringi kehidupan politik sekarang ini seakan-akan terus terlontar bagaikan bola panas tanpa ada yang punya inisiatif untuk memadamkannya.
Fenomena Post Truth ini boleh diakui sudah menjadi bagian dari masyarakat kita. Dalam konteks politik, individu akan terpapar suatu pemberitaan yang semakin meneguhkkan perspektifnya terhadap kandidat atau pilihan tertentu. Apalagi kemudahan mengakses informasi menjadi semakin meningkatkan peluang pemberitaan tersebar luas. Jikalau virus ini sudah menjangkiti, sudah barang tentu ia tidak akan melihat kebenaran pada kandidat lain. Personalisasi yang dilakukan oleh berbagai sumber pemberitaan yang akut mencegah masyarakat untuk berhubungan dengan pengalaman dan gagasan baru sehingga dapat menghancurkan pikiran dan menumbuhkan prasangka yang megubah cara masyarakat dalam memikirkan dunia dan dirinya sendiri. Dalam kaitannya dengan Pilpres, informasi-informasi yang validitas sumbernya tidak jelas, kuntifikasinya banyak beredar terutama melalui internet.  
 Kapasitas debat publik saya rasa tidak menunjukkan relevansi dan efektifitas yang signifikan. Kondisi masyarakat yang telah terpapar fenomena Post Truth menjadi sebuah faktor yang berdampak besar bagi proses perpolitikan negeri ini. Informasi-informasi yang selama ini telah beredar di beranda-beranda social media terlalu cepat membentuk perspektif masyarakat terhadap personalisasi paslon dibandingkan dengan visi misi paslon dan tema tema yang dibicarakan dalam debat publik. Hal tersebut semakin diperparah dengan substansi debat yang dinilai banyak pihak hanya perang kata-kata dan klaim data. Tujuan pemilu yang berintegritas saya rasa sulit dicapai pada era pemilu ini oleh karena dominasi isu isu yang tidak substantif yang selama ini termuat dan tersebat melalui media dan pemberitaan lainnya. Lalu siapakah yang salah dalam hal ini, tentunya kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, elit politik, bahkan media sebagai intermediari. Dalam Era Post Truth ini kita harus sama sama belajar mencari informasi yang benar benar valid sehingga tidak mendorong kita untuk bersikap gegabah dalam menentukan perspektif terutama dalam hal politik. Jangan sampai kita terjebak dalam informasi yang cenderung destruktif yang bahkan bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa ini. Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip kata kata dari Gus Dur yang mengatakan bahwa “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”,jangan sampai dengan adanya politik menghilangkan humanisme kita sebagai sesama anak bangsa.



Sumber : Dhimas Syuhada, Kharisma .(2017). Tinjauan Buku “Etika Media di Era Post-Truth. Jurnal Komunikasi Indonesia.V,75-79.

Comments

Post a Comment

Popular Posts